Mengapa harus sempurna? Ya, pikiran itu yang berulang kali datang dalam pikiran saya. Karena pada kenyataannya, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata. Banyak terlihat orang di sekitar, yang cenderung untuk bisa menjadi manusia sempurna atau menuntut orang lain untuk sempurna.
Apakah semua itu, akan mudah untuk dilaksanakan? Dalam kenyataanya, sulit, bahkan teramat sulit. Selalu ada rintangan dan halangan yang akan dihadapi. Dan bagaimana sikap kita, jika kesempurnaan itu tidak terwujud?
Menyalahkan diri sendiri, kecewa dengan keadaan atau bahkan menjadi stres/depresi sendiri? Duh, jangan sampai berujung depresi, deh!
Peran Sebagai Ibu
Jika membahas upaya untuk menjadi sempurna yang berujung depresi, saya jadi teringat dengan ibu-ibu muda yang pernah mengalaminya. Sebagai ibu muda, tentu saja memiliki anak merupakan pengalaman pertama dan mengurus buah hati, menjadi kebiasaan yang baru.
Jika membahas upaya untuk menjadi sempurna yang berujung depresi, saya jadi teringat dengan ibu-ibu muda yang pernah mengalaminya. Sebagai ibu muda, tentu saja memiliki anak merupakan pengalaman pertama dan mengurus buah hati, menjadi kebiasaan yang baru.
Teman-teman pernah mendengar tentang baby blues? Nah, ternyata salah satu penyebab ibu-ibu muda mengalami depresi ini adalah sikap perfeksionis dalam mengurus bayi. Terkadang ada tuntutan dalam diri, agar segala sesuatunya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam kenyataannya mengurus bayi, diperlukan penyesuaian yang tidak mudah.
Berubahnya jam tidur ibu pada malam hari, atau pekerjaan rumah tangga yang tidak bisa selesai karena harus menanggapi kerewelan anak, kadang bisa menguras jiwa. Sebenarnya tidak hanya ibu yang perlu penyesuaian, tapi bayi pun butuh penyesuaian. Hal ini dapat menimbulkan stres. Kalau saya, cukup menghadapinya dengan satu keyakinan. Yakin bahwa kesempatan merawat bayi atau anak itu hanya datang satu kali. Dan, sebaiknya saya menikmatinya saja. Setuju?
Hampir serupa dengan tulisan Mak Noni Rosliyani, yang bercerita tentang perannya menjadi seorang ibu. Dalam tulisannya yang berjudul Belajar Menjadi Tidak Sempurna, ibu muda berkaca mata ini mengungkapkan jika hidup ini adalah pilihan. Jika kita memilih untuk menjadi selalu sempurna, maka ada kemungkinan kita tidak bisa menikmati hidup. Oleh karena itu, Mak Noni tidak mau memaksakan dirinya untuk bisa selalu sempurna.
Karena dunia anak memang berbeda dengan kita, orangtua mereka. Yang mereka tahu, hanya bagaimana cara memenuhi keingintahuan mereka, dan melakukan sesuatu yang bisa mereka lakukan untuk bersenang-senang. Ya, hanya itu!
Jika saya menuntut rumah untuk selalu bersih, rapi dan nyaman seperti yang ada di majalah-majalah desain interior rumah, rasanya sulit. Demi kenyamanan dan kerapihan, justru yang ditakutkan, saya malah akan mengekang kebebasan mereka.
Anak-anak menjadi susah bergerak untuk kreatif dan merasa, apa yang mereka lakukan akan disangkal oleh orang dewasa.
Di lain pihak, kita selaku orang tua pun akan merasa lebih banyak menemukan kekecewaan. Mendapati rumah yang tidak kunjung rapi karena dipenuhi mainan yang berserakan. Belum lagi, ceceran yang ditimbulkan dari makanan atau minuman anak-anak. Duh, bisa menguras jiwa, deh!
Jadi mengapa harus sempurna, dalam menjalani peranan sebagai ibu? Tidak perlu lah, kita menuntut diri terlalu jauh. Toh dalam kenyataannya anak-anak pun tidak menuntut kita yang sempurna, bukan? Mereka hanya perlu merasa dicintai.
Mereka tidak ingin orang tua yang begitu mencintai, sehingga menjadi sosok yang over protective. Selalu bereaksi berlebihan ketika tubuh anak-anaknya terkena kotoran. Atau menjerit ketika mendapati anaknya bermain hujan. Yang ada, anak-anak akan merasa terkekang. Mereka tidak bebas untuk mengekspresikan dirinya dan terganggu untuk mencari jati diri. Saya kira, hal ini tidak akan menguntungkan, bukan?
Pasangan Yang Sempurna
Peran kita yang lain di dalam berumah tangga, adalah menjadi pasangan yang bisa membahagiakan. Terkadang, kita berusaha semaksimal mungkin, untuk mendapatkan pasangan yang sempurna. Bahkan untuk yang sudah menikah pun, terkadang menginginkan pasangannya berubah menjadi sempurna.
Dunia perempuan dan pria memang berbeda. Masing-masing memiliki sudut pandang tersendiri, mempunyai kebiasaan yang berbeda. Kita perlu memahami perbedaan tersebut, ketika kedua belah pihak telah sepakat akan menjalani pernikahan.
Peran kita yang lain di dalam berumah tangga, adalah menjadi pasangan yang bisa membahagiakan. Terkadang, kita berusaha semaksimal mungkin, untuk mendapatkan pasangan yang sempurna. Bahkan untuk yang sudah menikah pun, terkadang menginginkan pasangannya berubah menjadi sempurna.
Dunia perempuan dan pria memang berbeda. Masing-masing memiliki sudut pandang tersendiri, mempunyai kebiasaan yang berbeda. Kita perlu memahami perbedaan tersebut, ketika kedua belah pihak telah sepakat akan menjalani pernikahan.
"Pernikahan bukan menyatukan dua orang, namun menuntun dua orang agar seirama dalam mencapai tujuan yang satu."
Yang paling sering ditemukan, adanya usaha dari salah satu pihak untuk merubah pasangannya agar lebih sempurna di hadapannya. Contohnya saja, kebiasaan para pria yang menempatkan barang, tidak pada tempatnya atau kebiasaan lupa mematikan lampu saat keluar kamar, pasti sangat mengganggu, kan?
Gambar: Pixabay |
Apakah kita harus menuntutnya untuk meninggalkan kebiasaan yang dianggap jelek? Iya, kalau bisa. Kalau nggak? Kesel, marah-marah, uring-uringan? Ah, saya mah, daripada kesal lebih baik memperbaikinya saja. Menempatkan barang pada tempatnya kembali, dan mematikan lampu yang terlewat dipadamkan oleh pasangan. Yah, sudah! Selesai. Daripada capek ^_^
Daripada terus menuntut pasangan kita untuk sempurna, lebih baik saya bercermin. Sudahkan saya telah menjadi pasangan yang sempurna baginya? Apakah dia menuntut saya untuk sempurna, juga?
Ternyata, memang sulit untuk mencapai kesempurnaan. Jangankan menginginkan kesempurnaan orang lain, mencapai kesempurnaan diri pun, membutuhkan energi yang besar.
Daripada terus menuntut pasangan kita untuk sempurna, lebih baik saya bercermin. Sudahkan saya telah menjadi pasangan yang sempurna baginya? Apakah dia menuntut saya untuk sempurna, juga?
Ternyata, memang sulit untuk mencapai kesempurnaan. Jangankan menginginkan kesempurnaan orang lain, mencapai kesempurnaan diri pun, membutuhkan energi yang besar.
Nah, mengapa harus sempurna? Sekali lagi, kesempurnaan hanya milik Allah SWT saja. Kita sebagai makhluknya tidak perlu untuk selalu merasa sempurna. Selalu bersyukur dan bersabar dapat membawa kita untuk menjadi insan yang berbahagia.
Salam takzim
29 Comments
Baca ini aku jd inget lagunya bondan prakoso ft. Fade 2 black. Coba denger deh yg judulnya tak sempurna. ;)
ReplyDeleteYang mana, Mbak? Duh, saya belum pernah dengar hihihi. Okey, nanti saya cari, jadi pengen tau. Makasih ya..
DeleteAh iya, ke mana ya Bondan & Fade2Black. Padahal lagunya enak2, liriknya bagus2 juga :)
Deleteiya kadang kita merasa menjadi ibu yg tidak sempurna dan jadi down deh.pdhal, gak papa kok gak sempurna. Yg penting selalu bahagiadan bersyukur ya mba
ReplyDeleteBetuul...yang penting bahagia dan bersyukur.
DeleteSepakat bangeeet.... kita istimewa dengan kelebihan dan kekurangan kita. Mencoba jadi sempurna? sebaiknya coba jadi batu dulu saja. Hihihi
ReplyDeleteHahaha..analogi yang bagus, Mbak. Jadi batu aja dulu hihihi
Deleteaku pernah denger kata2 ini mbak dari ibu-ibu hot di yutub
ReplyDelete"Tidak ada perfect marriage, perfect wife, perfect mother. Kita harus benar-benar sama-sama belajar, Marriage is a work on progress - Kania Anggiani "
iya emang ngga ada yng sempurna, yang ada sama-sama belajar untuk menjadi sempurna ^^
Setuju mbak, sama-sama belajar untuk sempurna
Deleteiya, berusaha jd sempurna malah bikin...lelah cyiinn
ReplyDeletehehe
betuuul...hihihi
DeleteKalo nyari yg sempurna ga ada habisnya ya mba. Depresi sendiri kitanya
ReplyDeleteIya, nyari dimana coba? Makhluk yang sempurna itu?
DeleteDalam lomba pun, terkadang saya malah melihat, hadiah yg paling rendahnya apa? Malah kadang prinsipnya yg penting ikutan. Yeps, jadi nggak ada beban. Apalagi untuk "perlombaan" yg nggak ada hadiahnya. Kehidupan yg perfect buat saya melelahkan, yg penting be better aja.
ReplyDeleteYup. Yang penting be better aja. Siip!
Deleteaku semakiin belajar nich, menjadi ibu yang pada porsinya, tidak melulu meraih hasil sempurna tapi prosesnya tidak sempurna,
ReplyDeleteBetul Mbak, lebih baik prosesnya yang sempurna
DeleteDi dunia ini tidak ada yg sempurna... Saya, bukan org yg sempurna, maka saya juga tidk bisa memaksakan anak saya dan pasangan saya untuk sempurna...
ReplyDeleteSetujuu..! Toss!
DeleteTulisannya jadi pengingat bagiku, mba Nurul. Dengan bersyukur, kita semakin merasa beruntung dengan keadaan dan merasa berharga :)
ReplyDeleteKebahagiaan akan datang dengan banyak bersyukur ya, Mbak :)
DeleteSampai sekarang aku masih setia jadi sweeper buat suamiku, mbak. Dia buka gerbang, aku yg tutup. Dia habis pake gunting, aku yg balikin, dll. Pernah sambil cengar-cengir aku berseloroh,"Ayah...ayah. Aku mencintaimu apa adanya."
ReplyDeleteHabis gitu bisa tertib lagi sih suamiku. Hahaha...
Hihihi....mengingatkan dengan cara yang romantis! Keren.
DeleteIya benar, punya sifat perfeksionis itu melelahkan, mak. Saya masih belajar utk tidak terlalu menuntut diri. Doain yah
ReplyDeleteAamiin...semoga tercapai usahanya Mak, 😊
Deleteterkadang berusaha sempurna itu adalah hal yang benar-benar butuh effort yang luar biasa. semoga bisa terus kuat dan menemukan cara sempurna
ReplyDeleteBetul Mas, butuh effort yang luar biasa :)
DeleteNggak ada makluk yg sempurna. Btw ambil pixabay-nya yg free aja mak. Kalau shutterstock harus login di shutterstock utk dpt gratisan atau beli biar nggak ada watermark gitu.
ReplyDeleteHi hi hi..iya Mak Lusi, keliatan kurang menarik kalau ada watermark gitu, ya...
DeleteTerima kasih sudah berkunjung dan berkomentar. Mohon maaf, untuk menghindari SPAM, komentarnya dimoderasi dulu, yaa ^~^