Tak Perlu Menunggu Menjadi Kaya Untuk Bersedekah, barangkali itu yang terlintas di pikiran saya, ketika melihat tukang bubur kacang hijau yang sering lewat di perumahan. Ada apa dengan tukang bubur kacang hijau tersebut?
Setiap pagi, ada seorang tukang bubur kacang hijau yang lewat di perumahan kami. Lelaki paruh baya, yang selalu menggunakan topi berwarna hitam. Perawakannya sangat sederhana. Jika di pagi hari, dia mencari nafkah dengan berjualan bubur kacang hijau, di sore hari dia mengajar di TPA yang berada di sebelah mesjid At-Taubah.
Ada satu kebiasaan yang membuat saya, termasuk suami menjadi heran. Yaitu tentang beberapa kebiasaan tukang bubur kacang hijau tersebut. Sebungkus bubur kacang yang dijual olehnya, terbilang murah. Satu bungkus bubur kacang hijau, dihargai dua ribu rupiah. Jika di tukang bubur yang lain, bubur sebungkus seperti itu, diberi harga 300 ribu rupiah.
Rasa buburnya pun enak dan tanpa pemanis buatan. Jadi, nggak ada rasa pahit yang sering ditemukan pada makanan dengan pemanis buatan. Tentu saja, pelanggannya terus bertambah banyak. Siapa yang tidak mau, bubur tanpa pemanis buatan dengan harga murah? Tentu, saja banyak yang menunggu Mang Hendi (bukan nama sebenarnya) dan bubur kacang hijau panasnya.
Anak saya yang kecil, pasti langsung bersemangat, apabila Mang Hendi memukul-mukul mangkoknya. Masih setengah sadar, bangun dari tidurnya, anak lelak saya pasti berteriak ingin membeli bubur ketan hitamnya.
Hingga suatu waktu, suami saya ikut ngantri membeli bubur yang memiliki banyak vitamin itu. Pulang ke rumah, sambil menyerahkan tiga bungkus bubur kacang hijau pada saya, suami langsung bertanya :
" Bu, bubur kacang dijual dengan harga semurah itu, memang masih ada untungnya ya..?" tanyanya dengan terheran-heran.
Terus terang, saya kurang tahu. Maka saya hanya bisa mengangkat bahu dan menyarankan suami saya, untuk menanyakan langsung pada penjual bubur kacang hijau tersebut. Karena ini, merupakan pertanyaan yang kesekian kalinya terlontar dari ayahnya anak-anak saya.
Selain itu, suami saya juga bercerita jika Mang Hendi, suka membagikan barang dagangannya dengan gratis. Beberapa waktu yang lalu, ketika sedang melayani pesanan kami, lewat Kang Eeng yang berprofesi sebagai tukang bangunan di daerah kami.
Di sela aktivitasnya melayani pesanan kami, Mang Hendi memanggil Kang Eeng yang sedang melintas. Lalu diberikannya sebungkus bubur kacang hijau yang telah dicampur dengan bubur ketan kepada Kang Eeng.
Ada satu kebiasaan yang membuat saya, termasuk suami menjadi heran. Yaitu tentang beberapa kebiasaan tukang bubur kacang hijau tersebut. Sebungkus bubur kacang yang dijual olehnya, terbilang murah. Satu bungkus bubur kacang hijau, dihargai dua ribu rupiah. Jika di tukang bubur yang lain, bubur sebungkus seperti itu, diberi harga 300 ribu rupiah.
Rasa buburnya pun enak dan tanpa pemanis buatan. Jadi, nggak ada rasa pahit yang sering ditemukan pada makanan dengan pemanis buatan. Tentu saja, pelanggannya terus bertambah banyak. Siapa yang tidak mau, bubur tanpa pemanis buatan dengan harga murah? Tentu, saja banyak yang menunggu Mang Hendi (bukan nama sebenarnya) dan bubur kacang hijau panasnya.
Gambar milik resepmakansedap.com |
Hingga suatu waktu, suami saya ikut ngantri membeli bubur yang memiliki banyak vitamin itu. Pulang ke rumah, sambil menyerahkan tiga bungkus bubur kacang hijau pada saya, suami langsung bertanya :
" Bu, bubur kacang dijual dengan harga semurah itu, memang masih ada untungnya ya..?" tanyanya dengan terheran-heran.
Terus terang, saya kurang tahu. Maka saya hanya bisa mengangkat bahu dan menyarankan suami saya, untuk menanyakan langsung pada penjual bubur kacang hijau tersebut. Karena ini, merupakan pertanyaan yang kesekian kalinya terlontar dari ayahnya anak-anak saya.
Selain itu, suami saya juga bercerita jika Mang Hendi, suka membagikan barang dagangannya dengan gratis. Beberapa waktu yang lalu, ketika sedang melayani pesanan kami, lewat Kang Eeng yang berprofesi sebagai tukang bangunan di daerah kami.
Di sela aktivitasnya melayani pesanan kami, Mang Hendi memanggil Kang Eeng yang sedang melintas. Lalu diberikannya sebungkus bubur kacang hijau yang telah dicampur dengan bubur ketan kepada Kang Eeng.
"Ieu, keur bekel, ameh tanagana tambah gede." (Ini buat bekal, supaya tenaganya bertambah besar), seloroh Mang Hendi sambil menyodorkan bungkusan tersebut ke tangan Kang Eeng.
Tentu saja, Kang Eeng sangat senang. Dengan wajah yang berseri-seri tak henti-hentinya lelaki dengan tangan kekar itu, mengucapkan terima kasih. Menyaksikan kejadian tersebut, suami saya hanya bisa tersenyum sekaligus merasa haru.
Tidak hanya pada Kang Eeng, tukang bubur kacang hijau yang sangat sederhana itu, juga pernah terlihat memberikan buburnya tanpa mau dibayar kepada Mak Emi, nenek penjual gorengan. Juga kepada Bang Ahu, seorang sopir angkutan umum yang tinggal di belakang perumahan kami.
Inilah yang membuat suami saya menjadi heran. Berjualan dengan harga yang murah, namun masih mau berbagi sebagian dagangannya kepada orang lain, tanpa mau dibayar. Apakah keuntungan dari berjualan bubur kacang hijau, bisa mencukupi keluarganya?
Nyatanya, tukang bubur kacang hijau tersebut memiliki seorang istri dan dua orang anak yang harus dia nafkahi. Meskipun terlihat sederhana, kami lihat, dia mampu menyekolahkan kedua buah hatinya tersebut. Dan kami juga melihat, jika kebiasaannya tersebut, tidak membuat kehidupan mereka menjadi kekurangan.
Saya jadi teringat materi di salah satu tausiah, yang membahas mengenai sedekah. Waktu itu, ustad memberitahukan pada kami, bahwa dengan bersedekah, maka rejeki yang akan didapatkan tidak akan berkurang. Seperti yang tercantum dalam Surat Al- Baqarah ayat 261 yang isinya :
Sepertinya, Mang Hendi paham betul dengan balasan yang akan diterimanya jika mengeluarkan sedekah. Tidak sungkan, untuk menyisihkan sebagian yang dimilikinya meskipun hartanya tidak melimpah. Saya dan suami, bisa mengambil hikmah dari kehidupan penjual bubur kacang tersebut. Bahwa tak perlu menunggu menjadi kaya, untuk memberi sedekah pada orang lain.
Selain itu, sebaiknya memberikan sedekah itu, cukuplah hanya kita yang tahu. Tak perlu orang lain tahu, jika kita sudah memberi sedekah. Ya, hal ini pun jadi pembahasan bagi saya dan suami.
Diskusi kami, diawali oleh pembahasan mengenai kebiasaan Mang Hendi bersedekah, berlanjut setelah melihat fenomena orang-orang yang gemar mengumumkan pada khalayak, jika dirinya telah bersedekah. Padahal kebiasaan tersebut bisa merusak pahala sedekahnya.
Tentu saja, Kang Eeng sangat senang. Dengan wajah yang berseri-seri tak henti-hentinya lelaki dengan tangan kekar itu, mengucapkan terima kasih. Menyaksikan kejadian tersebut, suami saya hanya bisa tersenyum sekaligus merasa haru.
Tidak hanya pada Kang Eeng, tukang bubur kacang hijau yang sangat sederhana itu, juga pernah terlihat memberikan buburnya tanpa mau dibayar kepada Mak Emi, nenek penjual gorengan. Juga kepada Bang Ahu, seorang sopir angkutan umum yang tinggal di belakang perumahan kami.
Inilah yang membuat suami saya menjadi heran. Berjualan dengan harga yang murah, namun masih mau berbagi sebagian dagangannya kepada orang lain, tanpa mau dibayar. Apakah keuntungan dari berjualan bubur kacang hijau, bisa mencukupi keluarganya?
Nyatanya, tukang bubur kacang hijau tersebut memiliki seorang istri dan dua orang anak yang harus dia nafkahi. Meskipun terlihat sederhana, kami lihat, dia mampu menyekolahkan kedua buah hatinya tersebut. Dan kami juga melihat, jika kebiasaannya tersebut, tidak membuat kehidupan mereka menjadi kekurangan.
Saya jadi teringat materi di salah satu tausiah, yang membahas mengenai sedekah. Waktu itu, ustad memberitahukan pada kami, bahwa dengan bersedekah, maka rejeki yang akan didapatkan tidak akan berkurang. Seperti yang tercantum dalam Surat Al- Baqarah ayat 261 yang isinya :
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendak, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 261)
Sepertinya, Mang Hendi paham betul dengan balasan yang akan diterimanya jika mengeluarkan sedekah. Tidak sungkan, untuk menyisihkan sebagian yang dimilikinya meskipun hartanya tidak melimpah. Saya dan suami, bisa mengambil hikmah dari kehidupan penjual bubur kacang tersebut. Bahwa tak perlu menunggu menjadi kaya, untuk memberi sedekah pada orang lain.
Selain itu, sebaiknya memberikan sedekah itu, cukuplah hanya kita yang tahu. Tak perlu orang lain tahu, jika kita sudah memberi sedekah. Ya, hal ini pun jadi pembahasan bagi saya dan suami.
Diskusi kami, diawali oleh pembahasan mengenai kebiasaan Mang Hendi bersedekah, berlanjut setelah melihat fenomena orang-orang yang gemar mengumumkan pada khalayak, jika dirinya telah bersedekah. Padahal kebiasaan tersebut bisa merusak pahala sedekahnya.
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang diatasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah : 264)Memang, sih, untuk berbuat baik itu, memang banyak godaannya. Menunggu setelah memiliki harta banyak, baru mau bersedekah. Atau sudah ada keinginan untuk berbagi, tapi mengumumkannya pada orang lain. Yah...Semoga kita menjadi bagian dari sebagian orang yang tak perlu menunggu menjadi kaya untuk bersedekah. Dan tetap menjadikan amalan tersebut tersimpan rapat, hanya kita yang tahu. Aamiin.
30 Comments
Mang Hendi tahu betul bahwa sedekahnya akan berbalas bagi keluarganya. Keren, nih, Kang. Istiqomah di jalan Allah ya!
ReplyDeleteAamiin..semoga istiqomah ya..
DeleteAih subhanallah, nyeess banget mba. The miracle of giving ya mba...
ReplyDeleteBtw, itu burcangnya bikin kroyokan perut mba, huhu 😅
Burcangnya memang enak, loh! He he he
DeleteMasyaAllah... inspiratif banget (Y) salut sama Kang Hendi
ReplyDeleteSaya juga salut pisan,sama si Akang
DeleteWaah mang Hendi suri tauladan sekali. Saluut
ReplyDeleteSaya juga salut sekali...
DeleteMasya Allah seorang Tukang bubur pun bisa menjadi teladan bagi kita. Tfs mba, semangat berbagi..
ReplyDeleteYa Mbak, siapa pun bisa jadi teladan, ya..
DeleteTFS mba, yup kita ga perlu menunggu kaya untuk bersedekah dan bersedekah bisa juga untuk mereka yang kaya :)
ReplyDeleteBetul sekali Mbak Liza...:)
Deleteorang-orang seperti mang hendri patut ditiru, jadi inspirasi buat orang lain :)
ReplyDeleteBetul Mbak, menginspirasi sekali
DeleteAku baca jadi malu sendiri. Tukang bubur kacang ijo saja sudah berlaku sedemikian buat sedekah. Lah aku? Kadang masih suka itung-itungan. Astaghfirullah.
ReplyDeletesama, saya juga gitu... kayaknya mikirnya lamaaa gituh kl buat sedekah
DeletePengingat diri banget ini, Mba. Makasih udah berbagi cerita ttg Mang Hendi. *terharu
ReplyDeleteIya, bisa dijadikan pengingat diri.
DeleteAmin. Kita bersedekah dari apa yang kita punya ya, betul nggak harus nunggu kaya dulu baru bersedekah. Tukang bubur ini patut dicontoh.
ReplyDeleteApapun bisa kita sedekahkan ya, Mbak. Termasuk dengan tersenyum pada orang lain, bisa jadi sedekah juga :)
Deletewah masih ada bubur kacang hijau 1000 rupiah ?
ReplyDeletewah di jakarta minimal 7000
Masyaallah cerita ini menampar sekali yah, memang tidak usah menunggu kaya untuk bersedekah
1000 rupiah, di plastik kecil, Mbak. Cukup untuk anak-anak, kalau untuk orang dewasa, masih kurang kayaknya he he he
DeleteTerharu deh bacanya, sehat selalu mang hendi aamiin
ReplyDeleteAamiin, semoga Mang Hendi sehat terus ya...
Deletejadi sedih baca artikelnya
ReplyDeletememang benar jangan menunggu kaya untuk bersedekah bahkan sedekah itu yang akan membuat kita menjadi kaya...
Betul, dengan bersedekah kita bisa menjadi kaya hati :)
DeleteSedekah terbaik itu nggak pake mikir, spontan karena terbiasa ikhlas. Meski sedang dalam kesempitan.
ReplyDeleteNah, itulah Mak Lusi, banyakan yang sedekah itu pakai mikir-mikir dulu .. :(
DeleteBanyak bersedekah, insya allah kita akan kaya nanti di akhirat
ReplyDeletemau sedekah kok nunggu kaya dulu, ya sedekah dulu baru nanti akan kaya. bukankah Allah telah berjanji barang siapa yang bersedekah satu maka akn diganti dengan ganjaran 10 x lipat.
ReplyDeletejuga tidak perlu menunggu kaya untuk dapat menikah? heheh
Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar. Mohon maaf, untuk menghindari SPAM, komentarnya dimoderasi dulu, yaa ^~^